Friday, June 8, 2012

Alamanda

Entah aku harus sedih atau bahagia dengan ini semua. Yang jelas malam ini gerimis turut pergi mengiringinya menuju tempat singgah yang lebih indah.

"Bonekanya bagus ya Kak, cantik"

Rania memegang-mengang boneka Barbie yang ada di hadapannya. Aku mengamati sebentar boneka yang di pengang Rania. Iya boneka Barbie itu memang cantik secantik Rania, kataku dalam hati. 

Hari ini Rania memaksa ku untuk mengantarnya ke sebuah toko di ujung gang sekolah. Dia bilang ada yang ingin dia tunjukkan, padahal pulang sekolah nanti aku harus ikut latihan sepakbola. Dua minggu lagi sekolah kami akan mengikuti pertandingan persahabatan melawan SDN 25, dan aku menempati posisi penting di tim sepakbola sekolah yaitu sebagai kiper . Tapi entah mengapa seperti besi yang tak kuasa berpaling dari magnetnya, bila Rania yang mengajak aku selalu tidak bisa menolak. Maka kuputuskan untuk bolos latihan bola, sekali ini saja. Dan segera setelah bel pulang sekolah berbunyi, Rania naik menghampiri ku ke kelas lima. Ia sendiri duduk di kelas tiga. Wajahnya yang selalu nampak ceria menyambutku di depan pintu, ia menarik tangan ku, cepat-cepat membawaku ke tempat ini.

"Iya Ran cantik bonekanya, besok kalo kamu ulang tahun Kakak beliin ya, mulai besok Kakak kumpulin uang jajan"

Rania menggeleng, dan malah tampak mengeluarkan sesuatu dari dalam tasnya. Hah, uang? Rania mengeluarkan dua lembar lima ribu dan selembar sepuluh ribu. 

"Kamu mau beli sendiri, tunggu Kakak beliin aja..."

"Aduh Kak Yoga, Rani bukan mau beli boneka tapi mau beli itu"

Rania menunjuk sarung tangan yang terletak di sisi sebelah kanan kami, bersandingan dengan kaos kaki-kaos kaki. 

"Lagian kalo nunggu Rania ulangtahun kelamaan Kak, sekarang kita beli itu dulu"

Ia lalu menyeretku dan memaksaku untuk memilih. Sarung tangan itu sangat bagus, ada yang warna merah, biru, tapi aku paling suka yang putih. 

"Ini sarung tangan untuk apa?",tanyaku polos.

Wajah Rania berubah seketika.

"Kakaaaak... ini untuk pegang bola, biar tangannya ga lecet"

Aku tertawa kecil, wajah kesalnya lucu sekali.

Jadilah hari itu kami pulang dengan membawa sarung tangan "kiper" dari Rania. Meskipun aku sudah menolak tapi Rania tetap memaksa, katanya supaya besok gawang tim sekolah kami tidak kebobolan.

"Kakak kan payah nangkep bolanya, jadi Rania kasih hadiah sarung tangan anti kalah...haha"

Sial, kataku dalam hati. Namun biar bagaimana aku sangat menghargai usaha Rania mengumpulkan uang sakunya untuk membeli ini semua untuk ku. Tanpa terasa air mata ku menetes.

Semburat jingga mentari mulai nampak di langit langit, sepoi angin menerpa kami yang melangkah ringan ke rumah masing-masing.

Aku dan Rania

Kami sudah bersama sejak dulu, ketika aku berumur dua tahun Rania lahir. Aku senang sekali, dia lucu dan cantik. Aku seperti mendapat teman sekaligus adik baru. Rumah kami hanya bersebrangan, setiap saat aku ingin bermain dengan Rania, aku segera pergi kerumahnya, tak jarang aku tidur di rumah Rania. Tante Tari  dan Om Vino sudah kuanggap Orangtua sendiri. Raniapun juga begitu, ia menganggap Mama dan Papa ku seperti orangtuanya sendiri. Setiap bersama Rania, jiwa kelelakian ku selalu muncul, aku ingin melindunginya, menjaganya, membuatnya bahagia, semuanya.

Masa SD, SMP, SMA kami lalui bersama, Rania selalu mendaftar ke sekolah yang sama denganku. Pernah ketika SMP ia di daftarkan ke sekolah swasta nomer wahid pilihan Papanya, tapi selama seminggu ia mogok sekolah dan minta di sekolahkan di SMP negri yang sama dengan ku, lalu Raniapun pindah. Kami berpisah saat akhirnya ia naik ke kelas dua SMA dan aku harus melanjutkan kuliah keluar negri.

Disini kami berhenti.

Aku pulang dari Australia setelah empat tahun menempuh study di sana. Selama di Autralia aku berkomunikasi dengan Rania via facebook, itupun tidak sering study ku di bidang arsitektur menuntut konsentrasi khusus, karena aku mahasiswa dari Indonesia aku harus berusaha ekstra keras untuk menyesuaikan diri dengan ritme belajar di negri orang. Aku sangat sibuk dan hampir tidak meiliki waktu untuk diriku sendiri. 

Dari profil fb nya kulihat banyak perubahan yang signifikan terjadi pada Rania, ia menjadi lebih anggun dan bersahaja sekarang ia mengenakan jilbab. Tambah cantik saja ia. Ia juga nampak lebih dewasa, terlihat dari status - status updatenya yang bernada bijaksana. Rania kecilku sudah bermetamorfosa dengan sempurna rupanya. Dari semua perubahan itu ada yang tidak berubah, selama empat tahun Rania tidak pernah mengganti profil picturenya, segerombol bunga alamanda yang sempat kuberikan padanya sebelum aku pergi ke Australi dulu.

"Bunga alamanda ini tanaman Ever green Ran jadi dia bakal hijau terus sepanjang tahun. Warnaya kuning segar, bentuknya cantik persis kaya kamu"

Rania saat itu hanya diam, dan berlari ke kamar sambil menangis. Ia juga menolak mengantarku ke bandara.

Mama, Papa, Tante Tari dan Om Vino sudah menunggu ku di pintu kedatangan, mereka menyambutku dengan senyum yag paling meluluhkan sepanjang masa, aku memeluk mereka satu persatu, Mama nampak sangat terharu, begitu juga dengan tante Tari, mereka menitikkan air matanya. Sedang Papa dan Om Vino lebih tenang, predikatnya sebagai lelaki membuat mereka pantang menangsisi hal-hal seperti ini. Bebeda dengan ku yang sudah menangis terharu sejak di gerbang pesawat tadi. Akhirnya sampai juga aku di Indonesia, rasa bahagia yang membucah-bucah membuat dadaku sedikit sesak. Aku melempar pandangan mengelilingi tempat ini, nihil, tak kutemukan dia, dimana sosok itu? sosok yang selalu ingin kutemui, sosok yang diam-diam ku cintai sejak pertama kali aku mengenakan sarung tangan pemberiannya, wanita yang indah bak Alamanda, dimana Raniaku?.

"Nyari Rania, Yog?"

Om Vino mengerti kegelisahanku. Aku tersenyum malu.

"Dia di rumah, baru nyiapin makanan spesial buat kita, biar sekalian belajar" 

"Belajar apa om?"tanyaku heran.

"Belajar jadi istri", kata Om Vino ringan sambil menepuk pundakku

Ah... secepat ini kah?. Aku tersenyum bahagia menyongsong Raniaku yang akan segera menjadi istri.

Turun dari mobil, aku tidak bisa berdamai dengan perasaanku sendiri, emosiku seperti di aduk-aduk, jantungku remuk redam mendapat kabar ini dari Mama. Rania nampak sedang menata meja makan. Ia menyambutku dengan wajah cerianya sama ketika ia menjemputku di kelas saat itu, saat senyumnya menjadi investasi cinta dalam hatiku. Wajahnya semakin ayu dengan jilbab lebar berwarna biru yang ia kenakan. 

"Kak Yoga..." sapanya lembut.

Aku tak kuat menatapnya lama-lama, garis-garis senyum diwajahnya bagaikan ribuan jarum yang menusuk-nusuk hatiku yang mulai rapuh. Ku abaikan sapaan Rania, Rania nampak bingung tapi aku tak peduli aku segera lari ke kamarku. Kuhempaskan tubuhku di kasur empuk ini, berharap semua ini hanya mimpi dan aku segera terbangun.

Mama akhirnya berhasil membujukku untuk turun ke ruang makan. Setelah satu jam aku mengunci diri, dan setelah aku berusaha sekuat tenaga menerima semua kenyataan ini. Kenyataan yang bagai petir di siang hari.

Ya Rania memang akan menjadi istri, tapi istri orang lain. Orang lain yang baru ia kenal tiga bulanan ini melalui sebuah proses penjajakan bernama taaruf. Apa itu taaruf, sebuah proses membeli kucing dalam karungkah? yang membuat orang yang tidak pernah mengenal terikat dalam ikatan pernikahan?. Kenapa Rania tidak memilih proses yang lebih logis dan lebih aman buatnya, menikah denganku orang yang sudah ia kenal sejak kecil. Kenapa Rania?

Minggu depan mereka akan resmi menikah, kata Mama -Rania sengaja tidak pernah membicarakan ini denganku, agar menjadi kejutan saat aku pulang. Dan Rania sangat berhasil membuat ku terkejut hingga hampir mati karnanya. Keluarga Rania sudah pulang sejak tadi, kata Mama wajah Rania nampak murung. Ah aku jadi merasa bersalah.

Makanan yang dimasak oleh Rania, kusantap tanpa selera. Seharusnya hari ini aku sangat senang, Rania memasakkan masakan spesial untukku. Seharusnya hari ini kami semua bisa benar-benar berbincang seperti keluarga besar, menceritakan pengalaman-pengalaman ku di Australia. Mendengar cerita dari Rania selama ia menjadi mahasiswi jurusan seni musik. Menyimak cerita Mama yang baru saja pulang berlibur dari Hongkong dengan tante Tari. Seharusnya, ya.. seharusnya. Sayang semua itu hanya ada di angan.

Hari itupun tiba, Rania nampak bahagia bersanding dengan mempelai pria, yang terlihat tampan. Tinggi tubuhnya sangat pas dengan postur Rania yang juga tinggi. Mereka bak pangeran dan putri yang siap menyongsong masa-masa bahagia di depan sana. Siap mengasuh anak-anak lucu yang akan meneruskan garis keturunan mereka.

Aku berdiri sebagai penerima tamu dengan hati kecut. Investasi cinta yang sudah ia tanam berpuluh-puluh tahun rupanya tak bisa hilang begitu saja dalam hitungan hari. Jujur aku belum ikhlas. Di pesta itu mungkin aku satu-satunya orang yang berwajah murung. Oh tidak, Mama rupanya tau perasaan ku, ia juga nampak sangat sedih.

"Yang ikhlas ya sayang" mama berbisik padaku.

Aku mengangguk tegar.

Selepas menikah Rania pindah keluar kota mengikuti suaminya. Rencananya ia akan mengajar di sebuah sekolah musik di sana. Rania dan Tama suaminya berpamitan pada keluarga kami. Sambil membawa Alamanda pemberianku ia berkata "Kak Yoga, inget kan sama bunga Alamanda ini?, udah tumbuh jadi banyak banget lho Kak, aku ambil sedikit buat aku tanam di sana. Kalau aku kangen sama tempat ini aku bakal langsung lihat bunga Alamanda dari Kak Yoga"

Aku tak banyak berkata-kata. Hanya mengangguk dan tersenyum. Masih sakit saja rupanya.

Tangis itu kudengar dari ujung telephon, ia terisak-isak, suaranya bagai tergoncang. Tama meninggal dalam kecelakaan tepat seminggu setelah mereka menempati rumah baru mereka. Kata Rania, seharusnya Tama pulang kerja pukul lima tapi sampai jam tujuh Tama tak kunjung datang, ia pun mendapat telephon dari kepolisian yang mengabarkan kalau Tama meninggal dalam kecelakaan dan sekarang berada di rumah sakit. Malam itu ada sedih yang mendera ku, tapi aku juga tak menafikkan ada sedikit harap yang mulai muncul kembali kepermukaan.

Rania secara khusus menelphoneku karna katanya, sehari sebelum kepergiannya Tama sempat bilang.

"Ran Alamandanya cantik ya, persis kaya kamu. Aku  yakin Alamanda ini juga seistimewa orang yang ngasih ke kamu ya Ran?, tolong bilang ke Kak Yoga, terimakasih sudah menemani Rania tumbuh menjadi perempuan yang begitu baik dan cantik seperti Alamanda"

Aku terharu mendengar itu semua. Dalam hati aku bersumpah, Alamanda ini tak kan kutinggalkan sendiri, ia akan tumbuh dan tumbuh lagi menjadi alamanda yang lebih cantik.

Gerimis baru saja berhenti, malam ini Keluargaku berdoa dengan hikmat untuk Tama.



0 Comments:

Post a Comment