Monday, December 5, 2011

Sapa #4

Terburu-buru aku membuka pagar putih rumah tua yang terletak duaratus meter dari rumah ku. Rumah ini sudah lama tak berpenghuni, dulu pemilik rumah tua ini adalah om Bagus dan tante Leyla. Mereka lantas pindah ke Shibuya Jepang karena om Bagus dipindah tugaskan kesana. Di dalam rumah ini masih terdapat beberapa perabotan milik om Bagus, sengaja di tinggal untukku katanya. O ya... Om Bagus dan tante Leyla juga mempercayakanku untuk merawat rumah mereka. 

Tempat favorit ku di rumah ini adalah pada bagian belakang. Jangan di kira bagian belakang rumah ini indah berhiaskan taman dan gemricik air kolam , bagian belakang rumah ini benar-benar polos gersang hanya merupakan sepetak lapangan yang dikelilingi tembok berwarna putih. Aku suka duduk menyendiri di sini, mencari inspirasi , sambil menyeruput secangkir kopi instan panas . 

Sesampainya di halaman belakang rumah, aku cepat-cepat memutar pandangan, mencari dimana bak sampah yang berisi kado pemberian Tio. Sial, raib!. Kurasa tak seorang pun tau tempat ini kecuali aku. Bahkan Mayra teman baikku belum pernah ku ajak kemari. Apa mugkin tukang sampah, yang mengambil bak sampah itu?? rasanya tidak karena di sekitar sini masih ada beberapa bak sampah, dan hanya bak sampah itimewa itu yang hilang. Huff... tiba-tiba aku menyesal membuang kado pemberian Tio kemarin. Aku penasaran, apakah di dalam kado itu ia menulis sesuatu untukku, aku ingin tau apakah ia bisa memilih warna yang bagus untuk diberikan kepada seorang wanita, aku penasaran apa motif di balik pemberian kado itu padaku. Kalau saja kemarin aku tidak emosi, kalau saja kemarin aku sedikit menahan gengsiku...

Sudahlah... aku duduk di atas kursi goyang di belakang yang biasa diduduki om Bagus dulu. Tiba-tiba aku malas pulang, mungkin aku akan disini hingga malam. 

Aku sedang menatapt langit yang memerah menjelang senja ketika suara itu mengagetkanku."Cari ini?" sebuah suara yang akrab di telinga, sebuah suara yang kucari-cari pemiliknya, sebuah suara yang pemiliknya berhasil membuat mahasiswi baik-baik ini bolos kuliah. Ya suara Tio. Oh damn it, aku baru ingat selain aku tentu saja Tio tau tempat ini, kemarin terakhir ketemu dengan Tio kan di tempat ini. Ketika ia tiba-tiba hadir tanpa di undang, dan serta merta memberikan sebungkus kado padaku. Sebungkus kado yang berisi buku diary. Darimana ia tau tempat ini...?

Aku menoleh sedikit, sedikit sekali bahkan mungkin tak seujung  hidung mancungku tampak dari tempatya berdiri. "Cari apa??" tanyaku pura-pura tak tau. Tiba-tiba hawa panas menyergapi hati ku, aku tak tau ini apa tapi setiap ada Tio di dekatku perasaan ini selalu hadir, takut, campur cemas, campur khawatir, campur curiga... aku bagai mendidih... tapi entah mengapa... aku tak ingin terbebas dari rasa serba salah ini.

"Sebuah kado coklat yang dibuang begitu saja tanpa di lihat terlebih dulu isinya. Di buang hanya untuk meninggikan gengsi yang bahkan terlihat mata pun tidak". Aku benci diriku sendiri benci ketika aku lemah terhadap dia yang sudah jelas jelas menginjak harga diri ku. "A..aku.. aku nggak mencari apapun di sini, aku cuma mencari ketenangan yang tiba-tiba aja hilang setelah kamu datang". Tergugup gugup aku menjawabya. Kurasakan ia maju selangkah, detak jantungku menderu semakin cepat... apa yang salah padaku???. "Tak perlu lagi kau berkelit, sejak awal aku sudah bilang kalau suka ambil, kalau tidak buang. Maaf aku tak bermaksud mengambil barang yang sudah kuberikan, aku hanya merasa suatu saat kau akan mengambilnya, aku membawanya hanya untuk menambahkan sesuatu. Sesuatu yang semoga saja membuatmu tidak terlalu jijik lagi pada ku. Tapi kalau kau masih tetap jijik... setidaknya aku sudah mencoba". 

Hilang...sepi... ia telah berlari pergi, sebelum aku sempat menjawab argumentasi panjangnya. Kado berbungkus coklat bertuliskan untuk :Diana itu di letakkannya begitu saja di atas lantai marmer teras belakang rumah tua ini. Aku tersenyum tipis... setidaknya ia telah menyapa... Aku pulang.

0 Comments:

Post a Comment